Sabtu, Desember 25, 2010

Have Yourself a Merry Little Christmas


"Jingle bells, jingle bells, jingle all the way. Oh, what fun it is to ride in a one horse open sleigh

Akhirnya, bisa juga merasakan bagaimana penduduk Amerika merayakan Natal. Saya masih teringat candaan Mr. Antony, dosen saya asal Amerika kira-kira lima tahun yang lalu waktu kuliah di UIN Makassar. “There is no Christmas in Indonesia, coz there is no snow right here.”Alhasil, sejak saat itu saya lansung membayangkan bahwa Christmas di Amerika akan terasa begitu indah karena didominasi oleh putih salju dimana-mana. Belum lagi film-film Natal produksi Hollywood yang juga selalu menggambarkan Natal dengan salju-salju yang turun di malam Natal. Kenyataannya.....????? Saya menyebutnya fifty-fifty. 50-50. Ada benar dan tidaknya. Bagi mereka yang tinggal di Washington DC, atau East Cost pada umumnya, maka tahun ini mereka dapat merayakan “White Christmass.” Namun bagi mereka yang tinggal di Washington State, yang ada adalah “Christmass without White.” Karena pada saat tersebut tak ada salju yang turun. Sedikit bocoran, salju sama saja dengan hujan. Turunnya tidak setiap hari. Ditambah lagi Amerika adalah negeri yang sangat luas. Iklim daerah yang satu berbeda dengan derah yang lain. So, ada beberapa daerah yang bahkan tidak pernah merasakan salju sedikitpun. “Sekian pelajaran Georafi hari ini, intinya tidak semua daerah di Amerika ada saljunya.”

Bagaimanapun juga, Christmas tetap ditunggu-tunggu oleh masyarakat Amerika. Tidak heran satu bulan sebelum Christmas, tanda tanda perayaannya sudah mulai terlihat. Hampir setiap toko dihiasi dengan ornamen-ornamen natal. Toko-tokopun mulai menjual pernak pernik natal seperti topi santa, kaos kaki natal, permen, dan tentunya hadiah.

Tidak hanya toko, bahkan kota pun turut dihiasi. Pohon-pohon yang meranggas karena musim dingin dihias dengan lampu berwarna warni yang akan menyala di malam hari. Penduduk pun mulai menghiasi rumah dan halamannya dengan lampu hias serta boneka gas ala Santa dan juga Snow Man. Pohon natalp raksasa pun mulai bermunculan. Tingginya bahkan mencapai lebih dari 5 meter. Bukan hanya itu, sang Santa Claus sudah mulai sering muncul di keramaian. “Sayang, Santa tidak memberi saya hadiah”

Bagi saya yang seorang Non-Christian, Chrsitmas bukan lagi hal asing. Waktu masih SD di kampoeng dulu saya sudah punya teman seorang Kristen yang jika Natal memanggil saya untuk datang kerumahnya. Jadi Christmas bukan hal baru. Namun Christmas di Amerika, ceritanya pasti berbeda. Apalagi di sini saya memiliki lebih dari seratus teman yang beragama Kristen. “Dalam pandangan saya pribadi, Islam dan Kristen bisa hidup berdampingan dalam damai”

Anyway, Hampir seminggu sebelum Christmas saya bersama teman diajak ke sebuah gereja oleh seorang keluarga Amerika, David namanya. Bersama Agus, yang asal Indonesia, dan 2 orang India yang Juga Non-Christian. Mohsin yang Islam dan Sunny yang Sikh, malam itu kami memasuki gereja, duduk di barisan paling kiri, lalu mendengarkan Christmass Carol a.k.a “lagu-lagu natal” yang dibawakan oleh sekelompok penyayi yang dipimpin oleh seorang Choirmaster. Sunny teman saya tertidur namun kemudian terbangun di saat seorang penari balet wanita ikut tampil dan menari. Yah, wanitanya memang cantik. Harus diakui...

Rencananya, Christmas saya ikut rayakan bersama Kathy, koordinator saya di Everett beserta keluarganya. Sayangnya, saat itu saya berada di Bellingham dan terlambat menyadari bahwa bus tidak beroperasi di Hari Natal. Yah. Hari Natal adalah libur nasional serta hari libur Bus Service. Beruntung bagi saya karena Monica, seorang wanita paruh baya asal Jerman mengundang saya dan Thya untuk bersantap siang di Hari Christmas. Yess, saya tentu menyanggupi. Pastinya itu gratiss....

Dari Monica saya pun tahu bahwa budaya Christmas dirayakan di Amerika dengan jalan berkumpul bersama keluarga. Ajang Silatturahmi istilahnya. Tidak heran kalau menjelang natal adalah hari tersibuk dalam kalender transportasi Amerika. “Bulenya pada mudik bang”

Setelah menghadiri misa natal di gereja, para keluarga akan makan bersama. Setelah

itu biasanya memutuskan untuk keluar jalan-jalan di taman seraya berbagi cerita bersama keluarga. Untuk membuktikan itu, bersama Thya, Monica plus Fitz, anjing tipe “English Cocker” yang doyan pipis tiap saat, kami berjalan kaki di sebuah tempat bernama “Lake Padden.” Tempat ini sejatinya adalah danau yang kemudian “disulap” menjadi tempat wisata. Ada tempat bermain anak, sarana olahraga, tempat jogging, traking, dan tentunya danau tempat seseorang bisa berenang di musim panas atau sekedar bermain kano. Dan benar saja, banyak keluarga yang ikut berjalan kaki di sekitar tempat. Ada ibu, ayah dan anak yang baru saja bertemu lalu bercerita panjang lebar tentang tahun yang mereka lalui. Jadi terharu...

Oyach, satu lagi. Selain jalan kaki, keluarga pun biasa menghabiskan waktunya dengan menonton tv atau film. Kebetulan hari itu ada pertandingan basket NBA special bertajuk: NBA Christmas Special antara Miami Heat vs Los Angeles Lakers. Petandingan dua raja NBA, Kobe Bryant vs King James. Pihak NBA sengaja mempertemukan tim-tim besar di hari Natal sebagai tontonan menarik bagi para keluarga yang merayakan natal. Apes bagi Lakers, meski bermain di Stapless Center, tetap saja mereka kalah 96 : 80. “I've got my Christmass give” ujar kapten tim Miami Heat, Dwyne Wade. Saya tersenyum mendengarnya. “Lo kate cuman ente, I also get my Chrsitmas give” ujarku seraya memakan coklat German. Yes, Christmas kali ini sayapun bahkan mendapat hadiah Natal seperti cokelat, boneka, hingga Starbuck cards. Asyiiiiikkk…

Well, meski gak menemukan White Christmas. Namun tetap saja Natal di Amerika terasa berkesan bagi saya yang notabene seorang Muslim.

Have yourself a merry little Christmas Y’all. May God bless us. Let’s bring peace to the world.

Kamis, Desember 16, 2010

Mak, I'm goin' to California

Mumpung di Amerika,” begitu kata-teman-teman. Tidak heran jika kemudian “winter break” betul-betul dijadikan sebagai ajang travel atau jalan-jalan mengunjungi berbagai tempat di Amerika. Buat mereka yang memiliki budget besar, tidak tanggung-tanggung bisa mengunjungi tiga kota besar sekaligus. Misalkan, Los Angeles, Chicago hingga New York. Sedikit bocoran, baik Los Angeles,Chicago dan New York adalah tiga kota di tiga state yang berbeda dan untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut harus menyediakan budget besar. Apalagi jika ditempuhnya dengan menggunakan pesawat. Nah, buat yang modalnya pas-pasan seperti saya, satu tempat saja sudah cukup. Kalau saja ada yang beri duit. Mungkin bisa lebih banyak. Bapak pejabat, tolong beri saya duit.

Saya memilih California sebagai tempat berlibur. Los Angeles tepatnya. Alasannya, di sana ada Hollywood. Tempatnya para artis dan tokoh terkenal. Begitu yang saya dengar. Suhu di sana pun agak mendingan. Agak lebih hangatlah dibanding Washington yang kini mulai keseringan di bawah nol derajat celcius pada musim dingin ini. Alasan terpenting lainnya adalah, tiket yang saya dapatkan ke California jauh lebih murah dibanding bepergian ke tempat lain. “Maaf, saya kehabisan budget”

Rencana awal untuk bepergian bersama beberapa teman asal Indonesia gagal berantakan. Ujung-ujungnya yang tersisa hanya ada saya dan Thya. Tiket serta hotel sudah di booking sebelumnya, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak pergi. Apalagi kami berdua memang dari Sulawesi Selatan. Tidak heran kalau kami sama-sama memakai istilah pelaut Bugis-Makassar dahulu. “Toddopuli Temalara'” atau dalam istilah Makassarnya, “Le'ba kusorona biseangku, kucampa'a sombalakku, tamassaile puna teai labuang.” Yang intinya: “Sekali layar terkembang, pantang bagi kami mundur ke daratan”

Dan petualangan pun bermula. Dimulai dari ujung Barat Amerika, Bellingham. Kami mengambil bus menuju Mount Vernont lalu Everett. Kami singgah sebentar di Everett demi mencicipi kari India lalu melanjutkan perjalanan lagi dengan bus menuju Seattle. Dari Seatlle, Kerete Api “Mono Rail” yang tiketnya sekitaran 2,5 dollar membawa kami menembus malam menuju Seattle-Tacoma International Airport. Kami mungkin gila karena flight yang akan kami gunakan berangkat pada jam tujuh pagi. Namun karena budget yang terbatas dan tak mungkin menyewa hotel di dekat bandara, maka satu-satunya jalan adalah bermalam di bandara. Hitung-hitung dapat pengalaman. Mumpung di Amerika.

Beruntung bagi saya, karena SeaTac airport adalah salah satu airport ternyaman yang pernah saya datangi. Belum lagi ditunjang fasilitas yang canggih untuk check in serta koneksi internet yang super duper cepat plus gratis. Saya jadi teringat waktu di bandara Narita-Jepang dulu. Saya harus membayar 100 yen untuk sepuluh menit internet. Kalah tuh Jepang. And guess what...malam itu kami ternyata tidak sendirian tidur di bandara. Ada puluhan orang lainnya yang juga tidur di bandara. Bisa diprediksi kalau kami juga bukan satu-satunya orang yang kekurangan budget :-)

Sayangnya, gak ada Mushallah di sini. Gak seperti di bandara Sukarno Hatta Jakarta atau bandara Hasanuddin Makassar.

Akhirnya malam itu kami menghabiskan waktu dengan bermain scrabble serta online di dunia maya. Tak lupa menonton live semifinal pertandingan sepak bola AFF cup antara Indonesia vs Filiphina melalui Tv online. Gemuruh supoter memuncak saat menit ke 32, Christian “Habibi” Gonzales menyundul bola memanfaatkan umpan Firman Utina. Goooooolllll...!!!! Dan bait terakhir anthem Indonesiapun berkumandang. Hiduplah Indonesia Raya...

Sampailah kita pada tahap scary thing on American Airport. Mereka menyebutnya check point security. Dengan alasan keamanan, maka semua penumpang yang akan masuk keruang tunggu akan diperiksa. Tidak tanggung-tanggung,sepatu pun harus ikut dibuka. Sambil malu-malu saya membuka sepatu saya sambil berharap orang lain tak menyadari aroma aneh yang tiba-tiba menyebar. Bukan hanya sepatu, buat wanita yang melewati metal detector dan benda hebat itu tetap berbunyi, mereka harus melepas baju sehingga yang tersisa hanya baju dalam mereka. Hasilnya, dari pemeriksaan tersebut saya harus merelakan air minum serta gel seharga 140.000 rupiah itu di buang oleh petugas karena dianggap tidak layak masuk ke areal bandara.

Dan setelah menunggu beberapa jam plus tiga puluh menit penundaan pesawat. Kami ahirnya menuju maskapai penerbangan yang akan kami gunakan. “Virgin America Airlaines”. Nama yang aneh menurut saya. Satu saat nanti kayaknya bakal ada Handsome Airlines atau Widow Airlines juga nih. Namun jangan salah. Meskipun nama penerbangannya aneh. Kapalnya terkesan mewah dengan lampu ungu yang menghiasinya. Romantis abis. Belum lagi pesawatnya yang dilengkapi tv di setiap kursinya. Itu termasuk kelas ekonomi. Padahal ini cuman penerbangan domestik. Setahu saya, di Indonesia hanya Garuda yang seperti ini. Itupun tidak semua pesawatnya.

Sayapun memasang sabuk pengaman, Menyandarkan kepala pada bantalan kursi. Menyambungkan headset pada layar tv. Memutar musik lalu bersiap mengambil posisi terbaik saya. Tentunya untuk tidur.

Rata Penuh

Ingin rasanya saya berteriak. Maaaak, I'm goin' to California.

Jumat, November 26, 2010

They Called it, Black Friday

Well, ada alasan lain kenapa Thanksgiving begitu ditunggu di Amerika. It's all about “Black Friday.” Black Friday sendiri dilaksanakan sehari setelah Thanksgiving. JikaThanksgiving diadakannya pada hari Kamis, maka Black Friday diadakan pada hari Jum’at. Mungkin itulah sebabnya mereka menamainya Black Friday. Sayangnya saya masih belum mengerti entah atas dasar apa penduduk di sini memberinya embel-embel black.

Black Friday sebenarnya disebut juga shopping day. Pasalnya, pada hari itu barang-barang pada turun harga. Diskon gede-gedean pun dapat ditemukan dengan mudah hampir di semua toko. Tidak perduli itu toko-toko besar macam Macy's, Old Navy, Nordstrom, H&N dan GAP. Toko murah meriah seperti ROSS,TJ-MaXX, Wal Mart serta toko secondhand semacam Value Village atau Goodwill pun turut memberi potongan harga. Bahkan toko online seperti e-bay pun turut memanjakan konsumen dengan memberi diskon. Itulah sebabnya masyarakat begitu sangat antusias menjelang Black Friday.

Tidak heran kalau antrian pembeli sudah mulai nampak sejak jam 12 malam. Sedikit bocoran, di saat Black Friday toko-toko mulai buka sejak jam 3 atau jam 4 subuh hari. Mereka yang ketakutan tidak akan mendapatkan apa yang diinginkannya akan ngantri sejak malam hari. Pernah liat antrian sembako di Indonesia??? Hampir samalah seperti itu antrian pada saat Thanksgiving. Demi mengatisipasi melonjaknya pembeli. beberapa toko bahkan memberlakukan kupon kepada kondsumer yang ingin berbelanja di hari itu. And guess what, disaat pintu took mulai terbuka, maka orang-orang itupun akan berdesakan masuk menerobos dan mencari barang-barang yang mereka barang yang mereka inginkan telah habis, masih banyak barang lain yang bisa diambil dengan harga murah. Mirip banget dengan orang yang berebut saat pembagian sembako.

Gilanya lagi, ada beberapa orang yang bahakan rela membuat tenda di sekitar toko dua hari sebelum Black Friday hanya untuk dapat menjadi orang pertama yang bisa masuk ke toko yang ingin dituju. Lebih gilanya lagi karena suhu saat itu berada dibawah nol derajat celcius. It's snowing. Wherever you go, it’s kind of refrigerator.

Anyway, Black Friday juga menjadi berkah buat penduduk Kanada. Terutama bagi mereka yang letaknya berbatasan langsung dengan Amerika. Terbukti, toko elektronik seperti “Best Buy” di Bellingham telah dijejali orang-orang yang antri sekitar jam 4 pagi dan banyak diantara mereka adalah orang Kanada. Ratusan mobil-mobil Kanada pun banyak terparkir di parkiran toko atau mall di Bellingham. Hari itu iseng-iseng saya menghitung. Hasilnya, dari sekiatr 6 mobil 3 diantaranya ber plat British of Columbia, Kanada. Cek per cek, ternyata tax di Canada jauh lebih tinggi dibanding tax di Amerika. So, Jadi jangan heran...

What about me...??? Sayang beribu sayang, maksud hati ingin membeli barang, apa daya abang tak ada uang. Yup, saya kehabisan uang setelah menghabiskan duit untuk membeli tiket buat liburan musim dingin di Los Angeles, California. Thats why, saya hanya bisa jalan-jalan, masuk toko sana sini hanya sekedar untuk nyuci mata cuci mata dan nelan ludah. Meskipun begitu, godaan buat belanja ternyata begitu menggoda. Saya menyerah. Tampa terasa, saya menghabiskan sekitar 50 dollar untuk sebuah jaket University of Washington, sebuah big headset, battery charger dan sebuah papan Skateborad. Harga itu tergolong sangat murah disini. Sayangnya Jika saya bandingkan dengan di Indonesia. 50 dollar sama dengan gaji mengajar saya selama setengah semester. Tepatnya 6 bulan. Nasib…..

Kamis, November 25, 2010

Messages from Thanksgiving Day

Thanksgiving sejatinya adalah Harvest Festival atau Festival Panen Raya yang dirayakan di Amerika dan Kanada. Bedanya, jika di Amerika diadakan setiap fourth Thursday of November (Kamis ke-empat di bulan November), maka di Kanada diadakannya pada second Monday in October (Senin ke-dua di bulan Oktober)

Ada yang berpendapat kalau kegiatan ini pertama kali dilaksanakan pada tahun 1621 di Plymouth, Massachusetts. Namun sebahagian lagi berpendapat kalau kegiatan ini mulai diadakan di Plymouth, Virginia 1619. Awalnya, kegiatan ini dilaksanakan sebagai bentuk terima kasih sejumlah orang Eropa-Amerika kepada penduduk asli Amerika, Indian, yang telah membantu mereka selama musim dingin. Alkisah, saat itu banyak pendatang asal Eropa yang meninggal di Amerika karena mengalami masa-masa susah pada saat winter, lalu dengan senang hati suku Indian datang membantu mereka dengan memberikan makanan serta kebutuhan yang lain. Event ini akhirnya menjadi hari libur nasional setelah President Abraham Lincoln mulai menetapkannya sebagai libur nasional pada tahun 1863. Anyway, Koreksi saya jika salah. Maklum jurusan saya bukan Sejarah Kebudayaan Amerika

Nowadays, Thanksgiving menjadi hari dimana para keluarga di Amerika berkumpul bersama. Tidak heran baik pesawat, kereta api maupun bus begitu full terisi oleh penumpang yang ingin kembali bertemu sanak familinya. Betul-betul mengingatkan saya pada tradisi mudik di Indonesia. Sepertinya, akan ada macet lagi di high way nich.

Alhamdulillah, Thanksgiving kali ini saya kebetulan mendapat undangan makan malam GRATIS dari Galit, seorang wanita Yahudi asal Israel yang tinggal di Amerika. Bersama Thya dari Indonesia, Marcel dari Panama dan Mahabbah dari Mesir, kami dijemput oleh Han, pria keturunan Myanmar asal Inggris.

And guess what, benar kata orang kalau Thanksgiving adalah eating day. Di sana kami temukan banyak sekali makanan. Termasuk makanan khas Thanksgiving, Kalkun. Turkey bahasa Inggrisnya. Sayangnya, meski telah banyak makanan yang tersedia plus rencana untuk mencicipi semua makanan yang ada, bukan berarti saya bisa makan sebanyak mungkin. Hal ini dikarenakan saat makanan-makanan itu bertemu dengan lidah saya, sepertinya lidah saya menolaknya dan leher saya ikut-ikutan tak ingin menelannya. Aneh. Please, bedakan antara gak enak dan agak aneh.

Lidah saya yang khas Asia ini tidak mampu memakan makanan yang manis lagi aneh itu. Saya bahkan tidak rela memakan Kalkun bakar yang dihidangkan bersama saus Granbury yang begitu manis. Halloooo, bukannya ayam seharusnya gravy or spicy??? Kok kalkun bakar manis bang..??? Asin kek atau setidaknya pedas lah. Btw, Ada petsin gak...???

Anehnya, semua tamu-tamu yang lain begitu menikmatinya.

Well, forget about food. Untuk sejenak mari menatap sekeliling. Ada sekitar 25 orang di ruangan itu. Yahudi, Kristen, maupun Islam bersama dalam satu ruangan dan memakan makanan yang sama, memainkan game yang sama, tampa ada sedikitpun rasa kebencian di dalamnya. Indahnya.

Terahir, saya dan Thya mendapat traktiran menyaksikan Harry Potter 7 ; Harry Potter and the Deathly Hallows, di Regal Stadium. Studio 21 nya Amerika menurut saya. Tempatnya tidak begitu jauh dari West Washington Universitas. Gratis, gratis, gratis....

Finally, malam itu saya belajar dua hal. Pertama, Tidak benar jika dikatakan Yahudi, Islam dan Kristen tak bisa hidup bersama berdampingan dalam damai. Malam itu saya membuktikannya. Intinya adalah saling pengertian dan pemahaman. Kedua, Masakan Indonesia memang paling enak se-dunia. Saya jadi teringat Coto Makassar :-).

Happy Thanksgiving Y’all. Bring Peace to the World.

Rabu, November 17, 2010

This is an International Education Week

Seminggu sebelum thanksgiving day diperingati di Amerika, U.S. Department of State and U.S. Department of Education mengadakan kegiatan yang disebut International Education Week. Di banyak sekolah, terutama sekolah-sekolah yang mempunyai banyak International student, ajang ini menjadi kesempatan bagi siswa international tersebut untuk memperkenalkan tentang budaya dan negara mereka.

Di Everett sendiri, International Education Week dirayakan dengan berbagai macam kegiatan termasuk World Fashion Show serta Panel Discussion. Namun berbeda dengan fashion show yang biasanya menampilkan baju-baju seksi keluaran designer ternama plus model cantik dengan body aduhai, para peserta dari fashion show kali ini justru menggunakan baju adat perwakilan dari beberapa negara di benua Eropa, Amerika, Afrika dan Asia. Untuk menambah kemeriahan, setiapa peserta akan bejalan di atas karpet merah diiringi lagu dari negeri mereka.

Untungnya, ajang kali ini tidak mensyaratkan wajah ganteng untuk bisa menjadi model sehingga saya pun mendapat kehormatan untuk mewakili Indonesia. Saya tidak sendiri ada lagi dua cewek asal Indonesia yang telah lama tinggal di Amerika, Firda dan Ribka. Jika keduanya menggunakan kebaya maka saya menggunakan baju adat khas Bugis-Makassar berwarna Ungu. Saya memang membawanya dari Makassar. Sengaja saya pilih warna ungu karena setahu saya, ungu adalah trend warna 2010. Tapi seorang teman saya justru bertanya heran. I'm still thingking why Sam chose the purpe...? Cek per cek, Ungu ternyata warna dari LGBT, Lesbian Gay Bisexual and Transgender people. Saya hanya bisa tersenyum saat mengetahuinya.

Untuk urusan lagu yang menjadi background, beberapa pilihan sempat muncul di otak saya. Sebut saja; Rhoma Irama-Penasaran, Peter Pan-Menghapus jejakmu, Kahar HS-Garring apa I nona (lagu dari Makassar), hingga Keong Racun. Sampai kemudian, setelah melalui berbagai pertimbangan, terpilihlah lagu bang Haji sebagai background nya. Penasaran. “Sungguh mati aku jadi penasaran, sampai mati pasti akan kuperjuangkan.” Secara tidak langsung Andrea Hirata berpengaruh dalam proses pemilihan lagu ini, Bukankah Ikal senang Bang Rhoma...????

Dan hari itu, perwakilan beberapa negara dari benua Asia, Amerika, Afrika dan Eropa ikut ambil bagian. Meksiko, Ekuador, Spanyol, Jerman, Nigeria, Liberia, Kongo, India, Pakistan, China, Taiwan, Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, Filipina dan tentunya INDONESIA.

Tibalan giliran Indonesia untuk beraksi, dengan langkah bukan model, secara bergantian saya, Firda dan Ribka berjalan di atas karpet merah diringi lagu bang haji Rhoma Irama. Di depan saya murid murid berambut pirang tersenyum dan bertepuk tangan. Beberapa orang mengambil gambar bahkan video. Terus terang, saya grogi.

Terakhir, mewakili 122 International student dari 22 negara di college ini. Bersama dua orang teman dari India dan China, kami tampil di hadapan murid murid lainnya. Dengan bahasa Inggris masih standar, kami curhat tentang bagaimana perbedaan kuliah di Amerika dan di negara kami masing-masing. Yach, hari itu kami curhat di hadapan banyak orang.

Beberapa tahun yang lalu saya masih memaparkan makalah di hadapan puluhan teman saya yang berkulit coklat dan perempuan yang semuanya berkerudung. Dan kini, saya jadi pembicara di antara puluhan mahasiswa International dan juga mahasiswa berkulit putih berambut pirang dengan mata biru dan berbahasa Inggris. “Ah...Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan...????”

Senin, November 01, 2010

An Unscary Halloween


Di Amerika, 31 Oktober termasuk hari yang ditunggu-tunggu banyak orang. Pasalnya, 31 Oktober adalah Halloween Day. Buat yang udah terbiasa dengan film, buku, atau budaya Barat pasti udah tau apa itu Halloween. Tapi yang masih agak katrok macam saya, pasti belum paham, atau justru mungkin sok tahu yang ujung-ujungya salah paham. Remember: “Belum paham itu lebih baik ketimbang salah paham.”

Dulunya, saya berfikir bahwa Halloween adalah hari dimana setan-setan di Amerika pada keluar lalu menangkap anak-anak kecil yang berkeliaran. Nah, untuk mencegahnya, maka pada hari itu banyak orang yang akan meletakkan pumpkin (semacam labu) di depan rumahnya sebagai penangkal sehingga setan tidak datang ke rumah tersebut. Jadi bisa dibilang kalau fungsi pumpkin itu sama seperti bawang putih yang biasanya digunakan sebagai penangkal vampir.

Dan ternyata, itu tidak benar. Kini halloween justru adalah hari yang sangat di tunggu baik anak-anak ataupun orang dewasa. Ini bukan lagi scary day. Bagi anak-anak, Halloween adalah momen untuk mendapatkan permen gratis sebanyak banyaknya. Sambil membawa tas ataupun katongan, mereka memakai kostum lalu mengetuk rumah orang-orang. “Trick or Threat” ujar mereka sambil berharap mendapatkan permen.

Bagi yang dewasa, hallowen adalah ajang pesta kostum. Setiap orang bisa menggunakan kostum apapun yang mereka inginkan. Tidak perduli itu menyerangkam atau rada-rada aneh. Alhasil, ada yang berdandan ala setan, zombie, bajak laut, avatar, superman, power rangers, Einstein, Michael Jackson atau bahkan berdandan ala Obama, lengkap dengan topeng sang Presiden.

Di setiap supermaket atau toko, nuansa Halloween pasti terasa. Coklat, candies, ataupun kostum Halloween pasti tersedia. Warna orange yang menjadi ciri khas Halloween terdapat dimana-mana. Pumpkin tiba-tiba menjadi buah yang sangat laris. Tidak untuk dimakan, namun dijadikan sebagai pajangan di depan rumah.

Dan betapa beruntungnya saya karena bisa merasakan tiga Halloween party di tiga tempat berbeda.

Halloween pertama saya di Everett Community College. Kampus saya sendiri. Berhubung karena kebijakan college yang tidak memperbolehkan siswa melaksanakan kegiatan di malam hari. Maka Halloween party dilaksanakan di pagi hari. Hall yang biasanya menjadi tempat mahasiswa berkumpul diatur sedimikan rupa. Tak lupa iringan music dari disc jockey ikut memeriahkan. Alhasil, hari itu kampus seakan diserbu oleh manusia berkostum aneh. Dan tidak hanya murid yang menggunakan kostum, tetapi juga para dosen. Saya sendiri menggunakan kostum “pelaut” hasil pinjaman dari mentor family saya, Darryl. Berhubung saya msih malu, maka untuk menutupi muka, saya gunakan topeng “hulk” seharga 2 dollar. Toh kenyataanya, meski telah menutup muka, tetap saja saya masih merasa malu.

Halloween kedua saya rasakan di Whatcom Community College, Bellingham. Dibanding college saya college ini tergolong lebih besar. Serunya lagi karena Halloween party dirayakan di malam hari. Hall di atur sedemikian rupa hingga terkesan mirip dengan lantai dansa di night club. Musik yang diputar adalah musik yang memancing siswa untuk turut bergoyang. Malam itu saya datang masih dengan kostum “pelaut” plus topeng hulk. Dan kembali, kumpulan manusia dengan kostum aneh menari bersama menikmati music R and B.

Halloween terahir saya rasakan di down town Bellingham. Bersama Thya dan Tyena kami menembus dinginnya malam menju down town. Meski terhitung kota kecil, namun hampir semua masyarakatnya turun ke jalan. Puncaknya saat ratusan orang berdandan ala zombie menari thriller secara bersamaan diiringi lagu Michael Jackson. Cek per cek, ternyata dandanan ala zombie menjadi salah satu favorit di Halloween. Hujan rintik-rintik yang turun saat itu seakan bukan halangan bagi masyarakat di sana untuk larut dalam kegembiraannya masing-masing.

That was great night and I learn that Halloween is not a scary day. It's a custom day. Sayang, saya tak menemukan seorang pun yang memakai kostum pocong, kuntilanak, sundal bolong ataupun kolor ijo disini. Di Amerika, setan ini ternyata tidak populer. Coba kalau di Indonesia.


Rabu, Oktober 13, 2010

Let Me Save Three Lives

Pagi itu saya langsung kaget saat membuka mata dan melihat kearah jam yang sudah menunjukkan puukul 8:37. Sesegera mungkin saya menuju kamar mandi. Tak ada party on the bathroom hari ini. Tak ada laptop juga tak ada musik. Intinya saya harus bergegas. Saya harus donor darah pagi ini jam 9.00.

Well, saya tertarik karena taglinennya yang menyebutkan “save three lives”. Siapa yang tidak mau menyelamatkan tiga nyawa. Hitung-hitung, ini sekaligus balas budi saya ke pada Amerika yang telah memberi saya beasiswa.

Sebelumnya, dari beberapa tulisan yang saya temukan di Internet saya tahu bahwa susah bagi pendatang untuk mendonorkan darahnya disini. Banyak aturan dan pemeriksaan yang harus dilakukan terlebih dahulu. It's all about safety. Tapi toh tetap saja saya berkeras hati ingin melakukannya. Jika di Indonesia saya bisa, kenapa di Amerika tidak, itu pikir saya.

Sambil berlari saya menuju eampat donor darah seraya memakan sebiji apel buat pengganjal perut. Tak ada waktu buat sarapan lagi. On time, on time, on time. Itu budaya di sini.

Dan betul saja. Seharusnya saya mempercayai apa yang saya baca di internet. Seperti yang seringkali dikatakan orang. Sungguh tidak mudah mendonorkan darah di negeri ini. Tidak semudah di Indonesia. Apalagi jika kita bukanlah asli Amerika. Setelah mendaftar, ada form yang harus diisi. Isinya berupa pertanyaan seputar health history kita. Ribet, begitu pikir saya.

Beberapa pertanyaan yang masih sempat saya ingat seperti: Apakah kamu pernah melakukan sex sebelumnya, Apakah kamu pernah berhubungan sex dengan penderita HIV, Apakah kamu pernah travel keluar dari US or Canada, Apakah kamu memiliki tatoo or piercing, Apakah kamu menggunkan suntik saat menkonsumsi drugs or steroid, Apakah kamu pernah masuk penjara, Apakah kamu pernah melakukan hubungan seksual sesama jenis, dan beberapa pertanyaan lain yang saya sudah lupa.

Dan alhasil, meski sudah capek-capek mengisi formulir. Ujung-ujungnya saya ternyata tidak bisa “menyelamatkan tiga nyawa” dikarenakan saya berasal dari negeri bernama Indonesia. Bingungkan..????Saya pun sempat bingung karenanya.

Indonesia ternyata didentifikasi sebagai negara tempatnya malaria. Alhasil, sayapun ditolak. Saya diberi formulir yang mengatakan kalau saya tidak bisa melakukan donor darah karena. “Travel/lived in Malarial risk area”. Saya tersenyum kecut, maksud hati berbuat baik tapi apa daya tangan tak sampai.

Bukan hanya sampai disitu, saya bahkan diberitahu bahwa untuk mendonorkan darah, saya harus menunggu hingga 3 tahun. What the “what”...!!!! Sekarang saya bukan lagi tersenyum kecut, muka saya sudah mulai berubah masam. Dia pikirnya tiga tahun itu cepet apa.....Arghhhhhhh

Namun kemudian saya tersadar akan satu hal. It's all about safety. Darah yang natinya diberikan kepada seseorang betul-betul darah berkualitas yang tidak terkontaminasi oleh penyakit apapun. Saya jadi teringat saat melakukan donor darah di kampus tercinta. Tak ada proses rumit jika ingin donor darah. Cukup datang, cek hemoglobin, trus donor. Pulangnya dapat kotak yang isinya susu coklat, telur matang, sepotong kue, plus obat penambah darah.

Disini saya pun ditawarin hal yang sama. “Cake”. Namun saya menolak. “I'm so sorry, I'm gonna donate blood, I'm gonna save three lives. It's not all about cake...lol”

Minggu, Oktober 03, 2010

Welcome to American College - Part 3

Ini masih tentang sekolah. Entah kenapa tidak ada habis-habisnya. Terlalu banyak hal yang dapat dituliskan disini. Mungkin karena terlalu banyak perbedaan antara Indonesia dan negeri ini. Saya jadi teringat ungkapan yang mengatakn, tidak fair membandingkan antara Amerika dengan Indonesia. Saya hanya bisa tersenyum. Kayaknya saya mulai mengerti maksud ungkapan itu.

Suatu hari dosen saya pernah berkata, jika ingin betul-betul belajar datanglah ke Amerika. And it’s truly right. Sungguh sistem disini terlalu berbeda. Saya jadi ingin mengatakan kepada mereka yang bermimpi ke Amerika untuk siap mental. Sistem yang digunakan disini adalah student center. Siswa betul-betul melakukan banyak hal dan guru sebagai fasilitator.

Read,write and discuss. Disinilah murid berkutat. Read, read read. Itu yang pasti. Dan tidak main-main, bisa-bisa saja seorang dosen memberi tugas bacaan hingga dua puluh lembar hanya untuk sehari. See, mungkin kalau orang di sini it's fine. Tapi bagi kita yang kita yang dari Indonesia dimana bahasa Inggris hanya sebagai bahasa Asing, maybe it's a little bit hard. Karena gak ada jaminan sekali membaca terus kita langsung mengerti.

Write,write,write. Bukan hanya membaca, sang dosen bahkan meminta untuk menuliskan kembali atau mereview bacaan itu dengan bahasa kita sendiri-sindiri. And remember, jangan sekali-kali nyontek dari internet. Plagiarism is really a big matter here. Menyontek itu adalah masalah besar di sini. Jadi buat mereka yang taunya cuman “copy-paste”, Wach out buddy.

Dan terakhir discuss, discuss, discuss. Saatnya untuk mendiskusikan apa yang telah kita baca dengan teman-teman sekelas. Sesi diskusi seringkali membuat saya terlihat sangat bodoh. Saat semua murid Amerika itu bertanya menjawab dan saling berdiskusi, saya jadi bengong dan berusaha memahami apa yang mereka ucapkan. Sempat terasa stress bahkan merasa bahwa I am the dumbest student in the class.

Sebenarnya, bisa saja saya meninggalkan kelas atau istilah kerennya bolos. Tidak ada larangan untuk itu. Beberapa teman bahkan seringkali meninggalkan kelas di saat pelajaran sedang berlangsung jika memang bosan atau ada kegiatan. Sayangnya, ada sistem poin yang membuat murid harus berfikir untuk tidak masuk kelas. Misalnya, untuk bisa mendapatkan nilai A di kelas, seseorang butuh 100 point. Biasanya, sekali masuk kelas bisa bernilai 5-10 point. So, you may choose. Come to the class and get your poin, or leave the class and lose your point.

Hal yang begitu membedakan Indonesia dan Amerika di kelas adalah bagaimana murid dalam kelas. Entah kenapa murid begitu aktif. Bertanya ataupun menjawab pertanyaan. Sang guru tidak perlu memaksa seseorang untuk berbicara. Murid di sini bahkan tidak segan-segan berbeda pendapat dengan sang guru. Dan itu adalah wajar.

Budaya mereka yang casual pun membuat Murid bisa membawa makanan dan minumannya kedalam kelas. Memakan permen atau apel saat dosen sedang memeberi kuliah. Terkadang, teman saya bahkan mengangkat satu kakinya diatas kursi atau mengangkat kedua kakinya dan meletakknanya di kursi yang lain, sambil berbicara kepada sang Professor. And It's fine. Saya bahkan sempat menemukan teman yang duduk diatas meja saat sang guru menjelaskan. Atau sebaliknya , sang dosen yang duduk di atas meja. He he he he. Tetapi disini, hal itu dianggap bukan sebagai sikap tidak menghormati. It's all about value. Bukankah tiap tempat berbeda dalam memandang sesuatu???

Suatu hari, saya sempat berkata kepada Lori, dosen saya pada mata kuliah Cultural Understanding terkait perbedaan murid di Indonesia dengan disini. “You will never see this happened in Indonesia, coz the teacher will kick you out!!!” Ini gak bakal kamu temukan di Indonesia, karena sang guru bakal mengusir siswanya yang berkelakuan kayak gitu!!! Lori yang mendengarnya hanya bisa tertawa.

Sekali lagi, it's all about value. Bagaimana kita dalam memandang sesuatu. Masih ingatkan pepatah lama: “Lain ladang lain belalang, Lain lubuk lain ikannya”


Senin, September 27, 2010

Welcome to American College - Part 2

Masih tentang college...

Ternyata, bukan hanya teman-teman saya yang mengalami permasalahan dalam melafalkan nama. Saya pun demikian. Susah bagi saya untuk mengingat nama teman-teman sekelas. Melody, Connor, Mark, Olivia, Rico, Cody, Logan, dan lain sebagainya. Hal ini diperparah dengan bentuk wajah mereka yang menurut saya hampir sama semua. Terutama yang wanita. Putih, mancung, berambut panjang dan pirang. Susah membedakannya. Sama susahnya seperti membedakan Taylor Swift dengan Miley Cyrus...lol

Teman-teman di college pun bervariasi. Mulai dari yang masih muda hingga yang sudah berumur. Yang berumur adalah mereka yang kembali ke College meski telah memiliki pekerjaan. Sedang yang masih muda adalah mereka yang Tamatan High School atau masih duduk di High School tapi juga mengambil program kuliah di College. Mereka menyebutnya Running Start. Curi start gitu sepertinya. Di Indonesia kayaknya belum ada yang begini. Masih SMA terus juga ikut kuliah di Universitas. Mungkin bisa dicoba tuh.

Kelas saya sendiri didominasi oleh mereka yang masih muda. Dan tentunya, memiliki teman kelas yang masih muda-muda ada enak dan tidaknya. Sometimes, bisa menyenangkan, menantang, dan terkadang sedikit menyusahkan.

Menyenangkan karena mereka masih muda dan gaul. Ini tentunya kesempatan besar buat mengetahui lebih banyak tentang “The secret life of American teenager”

Menantang karena bahasa English yang mereka gunakan selalu bahasa slank. Bahasa elo-gue versi Amerika. Bahasa gaul tepatnya. Bahasa yang hampir 10 tahun belajar bahasa Inggris di Indonesia tak pernah saya dapatkan. “What's you up to?” Bingung kan jawabnya gimana.

Menyusahkan karena mereka dapat mebuyarkan konsentrasi. Apalagi bagi mereka yang memiliki prinsip bahwa cantik itu putih, berambut panjang tergurai dan sexy. This is the place. But wait, meski masih muda, sebahagian mereka sudah bersuami atau tinggal bersama pacarnya. Jadi, jangan kira bakal dengan mudah dapat pasangan disini. Apalagi jika tidak mempunyai mobil. Realistislah jack.

Hal yang paling menyenangkan dari kuliah di Amerika adalah waran-warni kehidupan kampus. Di sini kita dapat menemukan murid yang ke kampus dengan berbagai macam dandanan. Mereka yang ke kampus sambil membawa gitarnya atau membawa papan skateboard. Ada yang berdandan ala artis. Ada yang berdandan ala punk, dengan rambut yang di cat berwarna merah atau hijau. Ada yang berdandan ala hip hop, dengan topi yang dimiringkan, baju kebesar an serta celana kedodoran sambil nunjukkin boxer. Ada yang berdandan ala athlete basket dengan celana basket plus sepatu and1 atau air jordan, ada yang berdandan ala harajuku, serta terkadang ada pula yang memakai baju batik khas Indonesia. Itu aku...he he he.

Satu lagi, jangan heran kalau menemukan banyak mahasiswa yang memiliki tattoo ataupun bertindik. Tak peduli itu cewek atau cowok. Namun jangan salah, seperti katang Bang Andrea Hirata dalam Edensornya: “... Mereka layaknya Bohemian. Anting di hidung, pecandu drugs, music trash metal, berorentasi seks ganjil, dan tak pernah terlihat tekun belajar. Anehnya, mereka pintar dan unggul di kelas” And that's true. Saya sampai merasa jadi orang paling bodoh di dalam kelas. Sumpah...Huft...

Dan seperti hari-hari sebelumnya, kembali pagi ini saya menuju kelas. Angin yang berhembus benar-benar menusuk hingga ke tulang. Kembali saya berhayal. Membayangkan saya bertemu Mr. Obama hari ini di College, mungkin saja dia akan menyapa dan sambil tersenyum berkata: “Welcome to American College Sam, I’m happy you are here” Sekali lagi, ngarep mode on.


Senin, September 20, 2010

Welcome to American College - Part 1

Finally, the real American class is started right now…

Excited, itu yang saya rasakan. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya merasakan kuliah di luar negeri, Apalagi tempatnya di Amerika. Selama ini saya hanya bisa bermimpi dan bermimpi. Namun hari ini, hal itu betul-betul menjadi kenyataan. Tidak lagi dalam mimpi atau sekedar cerita yang saya buat. It’s real.

Kelas pertama saya dimulai jam 10. Bersama Tessa dan si Pakistan yang pagi ini bangun terlambat dan tampa merasa bersalah sedikitpun minta ditungguin selagi dia mandi, kami menuju kelas yang letaknya sangat dekat dari Apartemen di mana saya tinggal.

Kelas dimulai and I am really overwhelming. Saya tak menyangka akhirnya saya duduk diantara anak-anak berambut pirang berkulit putih dengan bahasa 100% “moco-moco” (itu sebutan yang saya dan adik saya ciptakan untuk bahasa Inggris selagi saya masih kecil dan tinggal jauh di kampoeng).

Fasilitas!!! Inilah yang selalu membedakan Amerika dan negeri dimana beta lahir, Indonesia. Tampa bermaksud membandingkan dan menunjukkan sisi lemah negerinya pak SBY, harus diakui kalau kita ketinggalan jauh di banding Amerika, terlebih lagi dalam hal fasilitas. Saya jadi teringat pesan dosen saya. Tidak fair membandingkan Indonesia dengan Amerika.

Ruangan tempat saya belajar begitu sophisticated dimana tiap meja dilengkapi dengan IMac. Setiap siswa bakal duduk manis dengan IMac di depan mereka.. Yang tidak tau tahu apa itu IMac kayaknya perlu bertanya ke om google. Laptop canggih yang seumur-umur saya sendiri tidak pernah memakainya. Jadi tidak heran kalau saya sedikit gugup dan bingung waktu pertama kali menyentuh. Saya memang sangat kampungan. But wait, saya gak sendiri, temen saya asal Pakistan itu kayaknya juga kagak tahu.

Saya bisa saja bertanya kepada teman yang duduk di sebelah saya. But the problem is, the person is a girl. Tentu saya tidak mau kehilangan reputasi. Saya tidak mampu membayangkan bagaimana cewek berambut pirang dengan matanya yang berwarna hazel itu mengerutkan keningnya lalu memandang saya dengan perasaan aneh. “What??? Are you serious you don’t really know how to use IMac??? Gosh”

Untunglah, naluri dan jemari tangan saya bekerja saat itu. Dengan pedenya saya main klik seenaknya dan meski hanya seenaknya, ajaibnya, it’s work. Saya jadi senyum-senyum sendiri. Temen saya yang dari Pakistan masih celingak celinguk bingung. Indonesia is better, ucapku sambil senyum senyum sedikit sombong. Dasar, baru segitu doang sudah besar kepala. So what gitu loh.

Ada hal aneh yang sesungguhnya tidak mengganggu saya namun mungkin membuat lidah sebahagian teman dan dosen saya bisa-bisa keseleo. Nama saya yang ternyata Indonesia banget menjadikan mereka sedikit susah dalam melafalkan nama saya dengan baik dan benar. Saya jadi kasihan saat mereka berusaha menyebut “Syamsul” dengan tepat. Terkadang mereka menyebut Samsu, Semsul, Semmmsuh, Shanesul, atau Shamesul. Entah bagaimana kalau nama saya Syamsul Bahri. Mungkin mereka bakal memanggil saya “Sunset Bali”. That’s why, demi kemudahan, mereka lalu memanggil saya Sam. “It’s pretty easier” kata mereka. Gampang oi. Macam si Samantha yang juga di panggil Sam. But it’s better lah ketimbang dipanggil Shamefull atau Ashame.

Di luar sana hujan masih turun membasahi bumi Amerika tempat saya memulai petualangan saya sebagai siswa di Everett Community College. Tuntutlah ilmu sampai ke Amerika, kata pak Ustadz. Saya juga jadi teringat twitter Mr. President Obama: Education is about more than getting into college or getting a good job. It’s about giving each of us the chance to fulfill our promise”. Entah apa kaitannya sama ucapan Pak Ustadz.

Andai saja saya bertemu Mr. Obama hari ini di College, mungkin saja dia akan menyapa dan sambil tersenyum berkata: “Welcome to American College Sam, I’m happy you are here” Ngarep mode on.

Pages