Minggu, Juli 18, 2010

Nuevo Lugar, Nuevo Amigo, Nuevo Error

Amerika yang saya tinggali tidak seperti Amerika yang selalu saya bayangkan. Mungkin karena keseringan nonton film Hollywood yang settingnya di California atau Los Angeles-New York, saya jadi mebayangkan Amerika adalah negeri dengan gedung pecakar langit di mana-mana. Kenyataannya, Amerika yang saya dapati justru Amerika versi Twilight. Pegunungan serta pohon pinus dimana-mana. Intinya, Hijau. Dan disinilah hebatnya. Mereka mampu menggabungkan keteraturan, teknologi, tampa harus merusak alam.

Meski kampus saya letaknya di Des Moines, bukan berarti saya tinggal di Des Moines. Saya tinggal di kota kecil bernama Kent. Sekitar 15 menit naik bus dari college. Setiap pagi kami harus memastikan kami telah berdiri di penantian bus tepat waktu. Soalnya, tak ada kata maaf bagi para penumpang yang terlambat disini. Lalu bus pun membawa kami menyusuri jalan raya yang menanjak nan berkelok, dengan peopohonan di kanan dan kiri kami. Dan seperti yang saya bilang sebelumnya, penggabungan teknologi, keteraturan, dan keramahan alam mebuat saya serasa naik Bus Way di daerah puncak, atau naik Bus Way di Malino.

Bersama mahasiswa Internasional lainnya, kami ditempatkan di apartemen. Saya se apartemen dengan orang Indonesia, Kenya dan 2 orang asal India. Sekamar saya adalah Martin, a good guy from Kenya. Perbedaan mencolok saya dengan Martin adalah, saya tukang begadang sedang dia tidak. Anehnya, saat dia tertidur, telinganya begitu sensitive. Sedikit saja suara yang ada, maka dia akan segera terbangun. Dan sebagai bangsa Indonesia yang baik, saya tentunya tak ingin menggangunya. Saya memilih untuk tidur di sofa kamar tamu. And God really bless me. Honestly, sofa kamar tamu serasa lebih empuk dibanding springbad di kamar saya.

Sekali lagi, meski di Amerika, bukan berarti bahasa yang terdengar setiap hari adalah Bahasa Inggris. Penghuni komples Riverwood Apartment di dominasi oleh Hispanic. Tidak heran, mau di lapangan basket, Gym ataupun kolam renang, Bahasa Spanyol selalu saja terdengar. Tidak heran, saya kemudian termotivasi belajar bahasa Soanyol. “Comes tas???” Sialnya, saat kembali ke Apartemen giliran Bahasa India yang merajalela. “Namaste”

Dan berhubung Amerika baru bagi saya, banyak “kesalahan” yang saya lakukan karena ketidak tahuan saya. Mungkin juga karena saya kampungan. Saya tidak tahu bagaimana menggunakan kompor gas 4 mata. Saya tidak tahu bagaimana menggunakan mesin pencuci piring. Saya juga tidak tahu menggunakan mesin pengering pakaian. Yang paling parah, saya tidak tahu bagaimana buang air besar tanpa menggunakan air. Beruntung karena teman-teman separtemen saya membantu. Menegur saya saat salah. Entah berapa kali saya mendapat teguran. Hufht

But anyway, untuk masalah buang air besar itu saya tak pernah mendapat teguran…I never told ‘em

Rabu, Juli 14, 2010

Mi Escuela: Highline Community College


Saya merasa saya sangat beruntung kuliah di Amerika. Apalagi, saya mendapat kesempatan merasakan dua college berbeda di Amerika. Highline Community College untuk Pre Academic, dan Everett Community College untuk belajar Journalism.

Highline adalah kampus pertama saya. Letaknya di negara bagian Washington State. Tepatnya di Des Moines. Sekitar 15 miles atau 24 km dari Seattle. Atau sekitar 1 jam dengan Bus. Di tempat ini saya akan menghabiskan waktu sekitar sebulan untuk belajar Bahasa Inggris yang baik dan benar tentunya.

You know what, pertama kali saya menginjakkan kaki disini, mulut saya tak henti-hentinya mengucap takjub. Gila, apakah semua sekolah di Amrik sebagus dan sebersih ini??? Jenifer yang mengantar saya hanya tersenyum melihat saya begitu overwhelming. Harus diakui, kampus ini sangat indah. Bunga-bunga bermekaran disana-sini, Pengaturan ruanganya sangat teratur, Pemandangannya indah, dan yang terpentig, tempat ini sangat bersih. Saya jadi bertanya, berapa gaji petugas kebersihannya???

Untuk kulaitas, maaf saja. Sepertinya kita harus angkat tangan. Di perpustakan, saya temukan sekitar 30 lebih computer siap pakai kapanpun oleh mahasiswa. Enaknya lagi, karena komputer itu dilengkapi fasilitas internet super duper cepat, print dan scan gratis. Plus petugas perpustakaan yang sangat ramah.

Kayaknya penting bagi saya untuk menceritakan soal toilet. Ingat filmnya Sang Pemimpi yang menceritakan tentang toilet sekolahnya??? Maaf saja, hal itu tak akan anda temukan disini. Toilet disini sangat bersih. Dan tidak berbau. Tidur di toilet pun rasanya bakalan nyaman. Saya jadi kembli bertanya, berapa gaji petugas kebersihannya???

Uniknya, meski di Amerika, namun saat summer session macam sekarang, mahasiswanya justru didominasi oleh ras Asia. Cina, Jepang dan Korea. Mahasiswa Amerikanya justru sangat sedikit. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk liburan saat summer. Summer adalah anugerah terutama bagi mereka yang tinggal di daerah dinggin seperti di Washington State. Saya sendiri lupa berapa kali saya harus keluar masuk restroom buat buang air kecil gara-gara kedinginan. Padahal, saat ini adalah summer. Saya jadi khawatir membayangkan bagaimana winter nantinya.

Di Highline kami memiliki dua kelas. Satu kelas di pagi hari untuk American Culture dan satunya di siang hari. Kelas ESL. Saya menyebut kelas ESL saya dengan sebutan kelas bangsa-bangsa. Wajar, soalnya siswanya berasal dari berbagai Negara. Kenya, Afrika Selatan, Pakistan, India, Meksiko, Kosta Rika, Guetamala, Eritrea, El Salvador, Ukraina, Cina, Hongkong, Korea, Jepang, Vietnam, Kamboja, Somalia dan tentunya Indonesia.

Sungguh sebuah kebanggaan bisa duduk di dalam satu kelas bersama mereka semua. Bertukar pikiran dan berbagi cerita. Betapa kuasa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda. Surat Al-Hujurat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”

“O mankind! We created you from a single (pair) of a male and a female, and made you into nations and tribes, that you may know each other (not that you may despise each other)”

Selasa, Juli 13, 2010

Here I am...America

Sudah bukan rahasia lagi, jika anda mengunjungi suatu negara, anda pasti akan berhadapan dengan pihak imigrasi di Negara tersebut. Dan Amerika, adalah Negara yang terkenal sangat ketat dalam hal keimigrasian. Apalagi jika anda berasal dari negara muslim dan memiliki nama yang berbau Islam. Percayalah, karena saya mengalaminya.

Sebelum sampai di Amerika, pramugari pesawat yang anda tumpangi akan memberikan formulir I-94 yang harus anda isi. Di dalamnya berisi pertanyaan tentang anda, passport dan juga alamat anda selama di Amerika. Selanjutnya anda juga akan diberikan formulir US Costumes and Borders Protection yang berisi nama, alamat, passport dan jumlah barang yang anda bawa dalam dollar. Formulir ini tidak hanya diberikan kepada orang non Amerika saja. Bahkan warga Negara Amerika pun yang kembali ke negaranya juga diberikan.

Hard pointnya adalah saat anda sampai di Amerika. Setelah turun dari pesawat, anda akan digiring untuk antri di pihak imigrasi. Antriannya sangat panjang. Dan saat tiba giliran anda, kartu I-94 dan passport anda akan di cek. Jika semuanya ok, maka anda akan di foto dan menyerahkan sidik jari.

Tibalah giliran saya. Dengan membaca bismillah saya mendatangi petugas imigrasi. Saya pikir semuanya akan baik-baik saja, sampai kemudian petugas di depan saya mengerutkan keningnya lalu memanggil petugas lainnya. Mereka berdiskusi, and here we go.

Where do you come from sir??? Tanya mereka. Indonesia. Jawab saya singkat. Dan entah karena alasan apa, mereka lalu memberi saya sebuah kartu besar berwarna kuning lalu menuntun saya ke sebuah ruangan terpisah. Di ruangan itu terdapat dua orang yang sepertinya dari Jepang, seorang berwajah Arab dan seorang wanita dari Kanada.

Saya kembali diberi kartu berwarna merah dan dipindahkan ke ruangan lainnya. Di ruangan ini saya hanya melihat ada satu keluarga yang kemungkinannya Jepang atau china. Disini saya lalu diminta menunggu. Saat diwawancara, saya kemudian ditanyakan tentang nama, tujuan, berapa lama saya di Amerika. Saya pun diminta menyebutkan nama lengkap kedua orang tua serta tanggal lahir mereka. Tak lupa mereka meminta id saya yang lain selain passport saya.

Huft, dalam hati saya sebenarnya mengeluh. Tujuan saya ke Amerika kan untuk belajar. Saya kesini atas biaya pemerintah Amerika. Tapi kenapa saya harus menjalani pemeriksaan selama dan sedetail ini??? Apakah karena saya seorang muslim??? And I guess so. Saya rasa itu jawabannya, dan meskipun Obama telah mengatakan akan membangun hubungan baik dengan dunia Muslim, tetap saja ada kekhawatiran terhadap orang muslim. Saya berfikir demikian Karena saya sempat melihat seorang anak dari Jepang dengan tujuan yang sama dengan saya melenggang mulus dipihak imigrasi.

Hampir dua jam saya diwawancara. Sebelum selesai saya disumpah. Entah apa isi sumpahnya. Karena yang membacakan sumpahnya adalah petugas yang mewawancari saya sedang saya hanya diminta untuk mengangkat tangan kanan saya. Tak lupa passport saya di cap “special registration”. Sebelum pergi, mereka memberi saya oleh-oleh setumpuk kertas tentang keimigrasian di Amerika. Saya juga diingatkan untuk menghadap lagi jika ingin keluar dari daerah Washington State. Saya mengiyakan lalu pergi mengambil luggage saya yang merupakan luggage terakhir yang tersisa. Beruntung, barang saya tidak perlu di cek lagi. Entah berapa lama saya akan tertahan di bandara jika seandainya barang saya diperiksa lagi.

Gara-gara tertahan di bandara, Gareth yang sebelumnya menunggu saya sudah tak saya temukan. Jennifer, contact person yang berjanji akan menjemput saya juga tak saya temukan. Lama saya berputar sampai kemudian memutuskan untuk menelpon Jennifer. Itupun setelah saya bertanya kesana kemari kepada orang-orang kalau saya ini baru di Amerika dan saya ingin menelpon sedang saya tidak tahu bagaimana caranya menggunakan telepon disini. Kampungan

Betapa leganya saat melihat Jennifer datang bersama suaminya. Dibantunya saya memasukkan barang-barang saya ke dalam bagasi mobil. Lalu kemudian diajaknya saya makan di sebuah restoran cepat saji. Mereka memesan Teriyaki dan saya pun memesan makan yang sama. Soalnya, saya tidak tahu harus memesan apa.

Dari balik jendela saya menetap keluar. Sebuah daerah baru terpampang di depan saya. Sebuah daerah dengan penduduk, bahasa, dan budaya berbeda. Saya tersenyum membayangkan setahun saya disini. Meski sempat mendapatkan sedikit “masalah” di imigrasi. Namun saya gembira saya akhirnya tiba disini. Sebuah cita-cita yang telah lama saya idam-idamkan. Betul kata orang. Dream it and you will get it. Here I am America.

Senin, Juli 12, 2010

Journey to the West – From Narita to Seattle


Dulu saya berfikir bahwa bandara Sukarno-Hatta sangatlah besar. Saya pun sempat berfikir bahwa bandara Hasanuddin Makassar sangatlah indah. Namun saat saya menginjakkan kaki di Narita, Jepang. Harus saya akui, Narita is bigger and more beautiful. Dan jika di bandara Sukarno-Hatta saya sempat tersesat, maka di Narita saya SELALU tersesat. Beruntung saya bersama Gareth, Bill dan Travis. Sehingga kamipun bisa merasakan tersesat bersama-sama. Dan ini yang saya namakan indahnya kebersamaan.

Demi menghilangkan rasa lelah setelah enam jam di dalam pesawat, Gareth memutuskan untuk membersihkan diri dengan pergi ke shower room. And I guess the prize is $7. Sedang Bill dan Travis yang akhirnya kuketahui bukan ayah dan anak itu memilih membeli makanan di McDonald lalu kemudian menghabiskan waktunya dengan tidur di ruang tunggu. What about me?, Saya sendiri lebih memilih untuk keliling tak jelas. Menukar sejumlah dollar dengan yen lalu menggunakannya untuk mencoba koneksi internet Jepang. Sayangnya saya harus merogoh duit sebesar 100 yen per 10 menit atau sekitar 1 dollar per menit atau lebih jelasnya 10.000 rupiah untuk sepuluh menitnya. Fuuuufhh

Sehabis mandi, gareth mengajak saya untuk mencari makanan. And he treats me a glass of Juice. Untuk sapi panggangnya saya bayar sendiri. Unluckily, saya tidak mampu menghabiskan semua makanan itu, dan tinggallah sapi panggang harga puluhan dollar itu terbuang percuma. Damn. Saya jadi teringat pesan orang tua. “Jangan sisakan makananmu, karena mereka akan menangis”. And now, saya jauh-jauh datang dari Jakarta ke Narita hanya untuk membuat sepiring makanan menangis karena tidak dihabisi. Sorry food, I don’t mean it.

And time’s coming on, Delta is ready for flight. Kami pun lalu berpisah dengan Bill and Travis yang menuju New York. Perbedaan antara DELTA dengan JAL adalah penumpang Delta justru penuh. Tak ada kursi yang tersisa. Bagaimana dengan pramugarinya. Not sexy. Sekali lagi, pramugari salah satu maskapai kita lebih seksi. Untuk soal makanan, everything is ok. Saya rasa perut saya lebih memilih American food ketimbang Japanese food.

Seperti halnya JAL, kapal inipun dilengkapi layar di setiap kursinya yang memungkinkan setiap penumpang dapat menonton film, bermain game dan juga mendengarkan musik. Dan betapa beruntungnya saya karena saya bisa menemukan lagu-lagu berbahasa Inggris. Tidak seperti saat berada di atas JAL dan mendapati semuanya dalam bahasa Jepang.

Yang aneh adalah tentang waktu. Adakah yang mengingat Doraemon??? Ini tentang kembali ke masa lau. Kami berangkat dari narita pada pukul 4 sore tanggal 12. Dan anehnya, kami sampai di Seattle pada pukul 9 pagi juga pada tanggal 12. Apakah ini berarti saya kembali ke masa lalu??? Entahlah. Maha besar Tuhan…

Selama di pesawat atuapun saat masih di Jepang saya banyak berbicara dengan Gareth. Baik. Kemampuannya di bidang antropologi membuat saya tahu banyak hal, termasuk tentang absolitas kecantikan wanita. Jika selama ini kita memahami bahwa cantik itu relatif, maka ada sisi dimana kecantikan wanita itu absolute. Gareth juga memberi tahu saya tentang sebuah kata dalam bahasa Inggris yang sesungguhnya berasal dari bahasa Indonesia. The word is bogey man and it comes from BUGIS MAN.

Dahulu kala, perompak Bugis dengan perahu phinisinya seringkali membajak kapal-kapal dagang Belanda yang membuat mereka sangat ketakutan setiap kali bertemu perompak Bugis. Saking menakutkannya cerita tentang pelaut Bugis, saat anak-anak mereka bandel maka mereka akan menakut-nakutinya dengan mengantakan, “watch out, the bugis man will come”. Pengucapan bugis man tidak hanya diucapkan di Belanda namun juga di tersebar hingga ke negara yang berbahasa Inggris. Seiring berjalannya waktu, bugis man berubah menjadi bogie man. Dalam hati saya berucap. So, American, watch out, because the Bugis man is coming.

Waktu berlalu menunjukkan pukul 9:00 saat pesawat Delta yang saya tumpangi mendarat di Tacoma International Airport, Seattle. Saat itu ditelinga saya masih terpasang air phone. Justin Bieber masih saja bernyayi, menyambut kehadiran saya di Amerika.

Minggu, Juli 11, 2010

Journey to the West – From Jakarta to Narita

Dream it, and you may get it. Itu salah satu kalimat favorit saya. Mungkin bagi sebahagian orang, kalimat ini tak berarti apa-apa. Namun bagi saya, ini bukan sekedar kalimat biasa. Ada pengharapan, mimpi dan kepercayaan di dalamnya. Sebuah kepercayaan dimana saat kita memimpikan sesuatu, maka kita akan mendapatkannya. Tentunya dengan usaha. Dream is only hope without effort.


Mimpi itu pulalah yang membuat saya saat ini duduk di ruang tunggu bandara Sukarno-Hatta menanti pesawat yang akan membawa saya menuju Narita, Jepang. Ini adalah perjalanan pertama saya keluar negeri. Amerika tepatnya. It’s gonna be a long journey. Begitu kata teman-teman. And they are right. Saya harus ke jepang dulu lalu kemudian ke Amerika. Totalnya, sekitar 16 Jam 40 menit. Itu belum termasuk transit di bandara Narita sekitar 9 jam lebih.


Berhubung saya anak yang baru mau keluar negeri, sedikit kampungan dan sangat takut ketinggalan pesawat, maka saya telah berada di bandara pada pukul setengah 6 sore. Padahal, pesawat Japan Airlines yang akan saya tumpangi nanti baru berangkat pada pukul 10 malam. But it’s ok. Karena dengan begitu, saya memiliki banyak waktu untuk sekedar jalan dan cuci mata di bandara. Sejujurnya, saya sempat tersesat di sini, namun saya malu untuk bertanya. Entah apa yang akan bule-bule itu jawab saat saya bertanya tentang tempat. “What??? It is your airport dude. I guess you must be kidding”.


Satu-satunya masalah yang saya dapatkan di bandara adalah masalah barang. Tas ransel yang nantinya saya rencana bawa ke kabin ternyata lebih dari 10 kilo. Dan untuk mengakali itu, saya keluarkan sebahagian isi tas ransel saya, lalu memasukkannya ke dalam bagasi. Saya pun turut mengganti sandal dan menggunakan sepatu yang saya simpan dalam ransel. It’s work. Namun seperti yang telah saya bilang sebelumnya, saya ini sedikit kampungan. Makanya, saya lakukan itu semua di depan tempat antrian check in pesawat. Akibatnya, sebahagian orang yang antri tertawa melihat saya mengeluarkan isi ransel dan mengatur ulang bagasi. Diam-diam saya berbisik, who cares…!!!


Entah kenapa, pesawat yang saya tumpangi ke Jepang kali ini tak terisi sepenuhnya. Bahkan dapat dikatakan sangat kurang. Kalau keadaanya begini terus, saya yakin dan percaya, JAL akan menutup rute ini. Mereka bakal merugi jika bertahan. Namun sisi baiknya, dengan sedikit penumpang, sangat mudah bagi saya untuk mengenal penumpang lainnya. Saya berkenalan dengan Tim, Bill, Travis, Garet dan seorang dari Kanada yang saya lupa namanya. Tim si botak yang punya pacar orang Indonesia. Bill and Travis yang awalnya saya pikir adalah ayah dan anak, serta Gareth yang seorang dosen.


Jika ada yang bertanya bagaimana caranya saya berteman dengan mereka. Caranya simpel. Setiap saya melihat bule maka saya akan langsung betanya. “Hey, are you American???” Jika mereka mengatakan yes, maka saya lansung berkata “Wow, I am going to America. And it’s my first time” Yakin saja mereka akan berkata, “Really???...and bla..bla..bla”.


Nah, berhubung selama di Indonesia saya tidak pernah ke restoran Jepang. Maka dapat dipastikan bahwa makanan di atas pesawat terasa sangat aneh di lidah saya. Japanese food is really strange and I don’t like it. Oyah, kecuali satu hal. Yakult. Hebat, bahkan dalam pesawat pun ada pembagian Yakult. Dan saya minum dua.


Bagi yang otaknya ngeres. Jangan membayangkan pramugari di Japan Air Lines (JAL) seksi seperti Miyabi. Yup, mereka memang hanya menggunakan rok selutut, namun mereka menggunakan stoking atau kos kaki panjang berwarna hitam. Dengan kata lain, pramugari di salah satu maskapai di Indonesia jauh lebih seksi. Dimana mereka memakai pakaian panjang dan tertutup hingga mata kaki, namun memiliki belahan yang sangat panjang hingga ke paha. Entah alasannya apa. Permintaan pasar??? Saya tidak tahu.


Pages