Senin, September 27, 2010

Welcome to American College - Part 2

Masih tentang college...

Ternyata, bukan hanya teman-teman saya yang mengalami permasalahan dalam melafalkan nama. Saya pun demikian. Susah bagi saya untuk mengingat nama teman-teman sekelas. Melody, Connor, Mark, Olivia, Rico, Cody, Logan, dan lain sebagainya. Hal ini diperparah dengan bentuk wajah mereka yang menurut saya hampir sama semua. Terutama yang wanita. Putih, mancung, berambut panjang dan pirang. Susah membedakannya. Sama susahnya seperti membedakan Taylor Swift dengan Miley Cyrus...lol

Teman-teman di college pun bervariasi. Mulai dari yang masih muda hingga yang sudah berumur. Yang berumur adalah mereka yang kembali ke College meski telah memiliki pekerjaan. Sedang yang masih muda adalah mereka yang Tamatan High School atau masih duduk di High School tapi juga mengambil program kuliah di College. Mereka menyebutnya Running Start. Curi start gitu sepertinya. Di Indonesia kayaknya belum ada yang begini. Masih SMA terus juga ikut kuliah di Universitas. Mungkin bisa dicoba tuh.

Kelas saya sendiri didominasi oleh mereka yang masih muda. Dan tentunya, memiliki teman kelas yang masih muda-muda ada enak dan tidaknya. Sometimes, bisa menyenangkan, menantang, dan terkadang sedikit menyusahkan.

Menyenangkan karena mereka masih muda dan gaul. Ini tentunya kesempatan besar buat mengetahui lebih banyak tentang “The secret life of American teenager”

Menantang karena bahasa English yang mereka gunakan selalu bahasa slank. Bahasa elo-gue versi Amerika. Bahasa gaul tepatnya. Bahasa yang hampir 10 tahun belajar bahasa Inggris di Indonesia tak pernah saya dapatkan. “What's you up to?” Bingung kan jawabnya gimana.

Menyusahkan karena mereka dapat mebuyarkan konsentrasi. Apalagi bagi mereka yang memiliki prinsip bahwa cantik itu putih, berambut panjang tergurai dan sexy. This is the place. But wait, meski masih muda, sebahagian mereka sudah bersuami atau tinggal bersama pacarnya. Jadi, jangan kira bakal dengan mudah dapat pasangan disini. Apalagi jika tidak mempunyai mobil. Realistislah jack.

Hal yang paling menyenangkan dari kuliah di Amerika adalah waran-warni kehidupan kampus. Di sini kita dapat menemukan murid yang ke kampus dengan berbagai macam dandanan. Mereka yang ke kampus sambil membawa gitarnya atau membawa papan skateboard. Ada yang berdandan ala artis. Ada yang berdandan ala punk, dengan rambut yang di cat berwarna merah atau hijau. Ada yang berdandan ala hip hop, dengan topi yang dimiringkan, baju kebesar an serta celana kedodoran sambil nunjukkin boxer. Ada yang berdandan ala athlete basket dengan celana basket plus sepatu and1 atau air jordan, ada yang berdandan ala harajuku, serta terkadang ada pula yang memakai baju batik khas Indonesia. Itu aku...he he he.

Satu lagi, jangan heran kalau menemukan banyak mahasiswa yang memiliki tattoo ataupun bertindik. Tak peduli itu cewek atau cowok. Namun jangan salah, seperti katang Bang Andrea Hirata dalam Edensornya: “... Mereka layaknya Bohemian. Anting di hidung, pecandu drugs, music trash metal, berorentasi seks ganjil, dan tak pernah terlihat tekun belajar. Anehnya, mereka pintar dan unggul di kelas” And that's true. Saya sampai merasa jadi orang paling bodoh di dalam kelas. Sumpah...Huft...

Dan seperti hari-hari sebelumnya, kembali pagi ini saya menuju kelas. Angin yang berhembus benar-benar menusuk hingga ke tulang. Kembali saya berhayal. Membayangkan saya bertemu Mr. Obama hari ini di College, mungkin saja dia akan menyapa dan sambil tersenyum berkata: “Welcome to American College Sam, I’m happy you are here” Sekali lagi, ngarep mode on.


Senin, September 20, 2010

Welcome to American College - Part 1

Finally, the real American class is started right now…

Excited, itu yang saya rasakan. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya merasakan kuliah di luar negeri, Apalagi tempatnya di Amerika. Selama ini saya hanya bisa bermimpi dan bermimpi. Namun hari ini, hal itu betul-betul menjadi kenyataan. Tidak lagi dalam mimpi atau sekedar cerita yang saya buat. It’s real.

Kelas pertama saya dimulai jam 10. Bersama Tessa dan si Pakistan yang pagi ini bangun terlambat dan tampa merasa bersalah sedikitpun minta ditungguin selagi dia mandi, kami menuju kelas yang letaknya sangat dekat dari Apartemen di mana saya tinggal.

Kelas dimulai and I am really overwhelming. Saya tak menyangka akhirnya saya duduk diantara anak-anak berambut pirang berkulit putih dengan bahasa 100% “moco-moco” (itu sebutan yang saya dan adik saya ciptakan untuk bahasa Inggris selagi saya masih kecil dan tinggal jauh di kampoeng).

Fasilitas!!! Inilah yang selalu membedakan Amerika dan negeri dimana beta lahir, Indonesia. Tampa bermaksud membandingkan dan menunjukkan sisi lemah negerinya pak SBY, harus diakui kalau kita ketinggalan jauh di banding Amerika, terlebih lagi dalam hal fasilitas. Saya jadi teringat pesan dosen saya. Tidak fair membandingkan Indonesia dengan Amerika.

Ruangan tempat saya belajar begitu sophisticated dimana tiap meja dilengkapi dengan IMac. Setiap siswa bakal duduk manis dengan IMac di depan mereka.. Yang tidak tau tahu apa itu IMac kayaknya perlu bertanya ke om google. Laptop canggih yang seumur-umur saya sendiri tidak pernah memakainya. Jadi tidak heran kalau saya sedikit gugup dan bingung waktu pertama kali menyentuh. Saya memang sangat kampungan. But wait, saya gak sendiri, temen saya asal Pakistan itu kayaknya juga kagak tahu.

Saya bisa saja bertanya kepada teman yang duduk di sebelah saya. But the problem is, the person is a girl. Tentu saya tidak mau kehilangan reputasi. Saya tidak mampu membayangkan bagaimana cewek berambut pirang dengan matanya yang berwarna hazel itu mengerutkan keningnya lalu memandang saya dengan perasaan aneh. “What??? Are you serious you don’t really know how to use IMac??? Gosh”

Untunglah, naluri dan jemari tangan saya bekerja saat itu. Dengan pedenya saya main klik seenaknya dan meski hanya seenaknya, ajaibnya, it’s work. Saya jadi senyum-senyum sendiri. Temen saya yang dari Pakistan masih celingak celinguk bingung. Indonesia is better, ucapku sambil senyum senyum sedikit sombong. Dasar, baru segitu doang sudah besar kepala. So what gitu loh.

Ada hal aneh yang sesungguhnya tidak mengganggu saya namun mungkin membuat lidah sebahagian teman dan dosen saya bisa-bisa keseleo. Nama saya yang ternyata Indonesia banget menjadikan mereka sedikit susah dalam melafalkan nama saya dengan baik dan benar. Saya jadi kasihan saat mereka berusaha menyebut “Syamsul” dengan tepat. Terkadang mereka menyebut Samsu, Semsul, Semmmsuh, Shanesul, atau Shamesul. Entah bagaimana kalau nama saya Syamsul Bahri. Mungkin mereka bakal memanggil saya “Sunset Bali”. That’s why, demi kemudahan, mereka lalu memanggil saya Sam. “It’s pretty easier” kata mereka. Gampang oi. Macam si Samantha yang juga di panggil Sam. But it’s better lah ketimbang dipanggil Shamefull atau Ashame.

Di luar sana hujan masih turun membasahi bumi Amerika tempat saya memulai petualangan saya sebagai siswa di Everett Community College. Tuntutlah ilmu sampai ke Amerika, kata pak Ustadz. Saya juga jadi teringat twitter Mr. President Obama: Education is about more than getting into college or getting a good job. It’s about giving each of us the chance to fulfill our promise”. Entah apa kaitannya sama ucapan Pak Ustadz.

Andai saja saya bertemu Mr. Obama hari ini di College, mungkin saja dia akan menyapa dan sambil tersenyum berkata: “Welcome to American College Sam, I’m happy you are here” Ngarep mode on.

Jumat, September 10, 2010

Eid Mubarak Brother...!!!

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. La Ilaha Illa llahu wa llahu Akbar. Allahu Akbar walillahilhamd. Suara gema takbir menggema menyambut datangnya fajar 1 Syawal 1431 H. Tak terkecuali di Amerika, Washington State tepatnya. Bedanya, suara takbir itu tidak datang dari surau ataupun mesjid di dekat rumah, seperti yang biasanya terasa di Indoneisa. Kami mendengarkannya melalui website Youtube. Disana, Ustadz Jefri bertakbir tanpa henti.

Pagi itu, sekitar pukul 5 lebih waktu Everett, lengkap dengan sarung, sonkok bugis, batik, tas serta jumper kampus sebagai penghalau dingin, bersama dengan dua orang teman Muslim saya, Tessa dan Mohsin, kami berjalan menembus dinginnya city of Everett di subuh hari, saat penghuni apartemen Lona Vista lainnya masih tertidur lelap dalam mimpi mereka.

Butuh waktu sekitar 2 jam untuk mencapai tempat Shalat Id. Itupun dengan 4 kali berganti bus. Rutenya, College Station - Everett Station - Belleview Transit - Renton Station - Islamic Center of Kent. Sengaja kami memilih Kent, karena hanya itu satu-satunya tempat yang kami tahu secara pasti. Adapun tempat yang di Everett kami tidak tahu dimana tepatnya. Alasan lainnya, di Kent lah kami bisa merasakan nuansa Idul Fitri, karena di sana kami mempunyai beberapa teman Muslim.

Kami tiba sebelum pukul 9. Shalat Id sendiri di laksanakan pada pukul 9. Saya sempatkan untuk kembali berudhu lalu memperbaiki sarung saya yang kusut karena 4 kali berganti bus. Saya jadi teringat muka beberapa orang Amerika yang terlihat bingung melihat saya memakai sarung di atas bus. Meski demikian, tak ada seorangpun yang menegur saya. Nobody cares the way you dress here. Bahkan saat seorang wanita yang hanya memakai “maaf” bra atau seorang lelaki tak memakai baju sekalipun naik keatas bus. It’s fine-fine aja lah.

Bedanya di kampoeng saya, disini ceramah dilakukan sebelum Shalat Id dilaksanakan. Imam of Kent Islamic Center yang masih muda itu membawakan tema berkah Ramadhan. Itu kalau saya tidak salah dengar. Maklum,listening saya masih kacau balau. Terlalu banyak dipengaruhi Hindi dan Urdu setiap hari.

Dan tibalah saat dimana haru biru mengingat keluarga itu tiba. Selesai Shalat Id, para jamaah saling berangkulan dan mengucapkan selamat kepada yang linnya. Betapa beruntungnya saya menjadi seorang Musim, meskipun saya tak menemukan keuarga saya di sini, namun saya menemukan banyak saudara saya sesama Muslim asalTimur Tengah, Somalia, Afrika, Amerika, Afgani, Pakistan, Turki, Fiji, India serta Indonesia. Saya tak perlu mengenal dan mengetahui nama mereka. Kita spontan berangkulan satu sama lain. Mereka berucap, “Eid Mubarak brother, Eid Mubarak brother”

Dalam keadaan sedih dan gembira, saya jadi tersadar satu hal. Meski minoritas, menjadi Muslim di Amerika justru menjadikan ummat Islam bersatu. “We are brothers”

Malamnya, bersama teman-teman Muslim asal Indonesia, India dan Pakistan, kami mengadakan party keci-kecilan. Setidaknya perayaan hari kemenangan. Tak ada ketupat, kari, lontong, atau buras di sana. Hanya ada coke, hot dog, pizza, snack, french fries, chips, pop corn serta cake dan buah pisang. Malam itu kami merayakan idul fitri bersama teman dari berbagai bangsa dan Agama. Indonesia, India, Pakistan, Brazil, Afrika Selatan, Kamerun, dan Kenya. Ada yang Islam, Kristen, Hindu, hingga Atheist. Betapa indahnya hidup dalam kedamaian dan saling pengertian.

Akhirnya, sampailah saya pada status facebook saya hari ini. “Dari belahan bumi yang lain. Dimana Islam adalah minoritas. Dimana gema takbir hanya terdengar dari Youtube. Dimana ayam goreng, ketupat, opor, buras tak tersedia di saat lebaran tiba. Maafkan saya atas segala khilaf yang pernah ada. Tabe', Ta'dampengakka kasi'na. Selamat hari raya Idul Fitri 1431 H. Minal Aaidhin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Pages