Sabtu, Desember 25, 2010

Have Yourself a Merry Little Christmas


"Jingle bells, jingle bells, jingle all the way. Oh, what fun it is to ride in a one horse open sleigh

Akhirnya, bisa juga merasakan bagaimana penduduk Amerika merayakan Natal. Saya masih teringat candaan Mr. Antony, dosen saya asal Amerika kira-kira lima tahun yang lalu waktu kuliah di UIN Makassar. “There is no Christmas in Indonesia, coz there is no snow right here.”Alhasil, sejak saat itu saya lansung membayangkan bahwa Christmas di Amerika akan terasa begitu indah karena didominasi oleh putih salju dimana-mana. Belum lagi film-film Natal produksi Hollywood yang juga selalu menggambarkan Natal dengan salju-salju yang turun di malam Natal. Kenyataannya.....????? Saya menyebutnya fifty-fifty. 50-50. Ada benar dan tidaknya. Bagi mereka yang tinggal di Washington DC, atau East Cost pada umumnya, maka tahun ini mereka dapat merayakan “White Christmass.” Namun bagi mereka yang tinggal di Washington State, yang ada adalah “Christmass without White.” Karena pada saat tersebut tak ada salju yang turun. Sedikit bocoran, salju sama saja dengan hujan. Turunnya tidak setiap hari. Ditambah lagi Amerika adalah negeri yang sangat luas. Iklim daerah yang satu berbeda dengan derah yang lain. So, ada beberapa daerah yang bahkan tidak pernah merasakan salju sedikitpun. “Sekian pelajaran Georafi hari ini, intinya tidak semua daerah di Amerika ada saljunya.”

Bagaimanapun juga, Christmas tetap ditunggu-tunggu oleh masyarakat Amerika. Tidak heran satu bulan sebelum Christmas, tanda tanda perayaannya sudah mulai terlihat. Hampir setiap toko dihiasi dengan ornamen-ornamen natal. Toko-tokopun mulai menjual pernak pernik natal seperti topi santa, kaos kaki natal, permen, dan tentunya hadiah.

Tidak hanya toko, bahkan kota pun turut dihiasi. Pohon-pohon yang meranggas karena musim dingin dihias dengan lampu berwarna warni yang akan menyala di malam hari. Penduduk pun mulai menghiasi rumah dan halamannya dengan lampu hias serta boneka gas ala Santa dan juga Snow Man. Pohon natalp raksasa pun mulai bermunculan. Tingginya bahkan mencapai lebih dari 5 meter. Bukan hanya itu, sang Santa Claus sudah mulai sering muncul di keramaian. “Sayang, Santa tidak memberi saya hadiah”

Bagi saya yang seorang Non-Christian, Chrsitmas bukan lagi hal asing. Waktu masih SD di kampoeng dulu saya sudah punya teman seorang Kristen yang jika Natal memanggil saya untuk datang kerumahnya. Jadi Christmas bukan hal baru. Namun Christmas di Amerika, ceritanya pasti berbeda. Apalagi di sini saya memiliki lebih dari seratus teman yang beragama Kristen. “Dalam pandangan saya pribadi, Islam dan Kristen bisa hidup berdampingan dalam damai”

Anyway, Hampir seminggu sebelum Christmas saya bersama teman diajak ke sebuah gereja oleh seorang keluarga Amerika, David namanya. Bersama Agus, yang asal Indonesia, dan 2 orang India yang Juga Non-Christian. Mohsin yang Islam dan Sunny yang Sikh, malam itu kami memasuki gereja, duduk di barisan paling kiri, lalu mendengarkan Christmass Carol a.k.a “lagu-lagu natal” yang dibawakan oleh sekelompok penyayi yang dipimpin oleh seorang Choirmaster. Sunny teman saya tertidur namun kemudian terbangun di saat seorang penari balet wanita ikut tampil dan menari. Yah, wanitanya memang cantik. Harus diakui...

Rencananya, Christmas saya ikut rayakan bersama Kathy, koordinator saya di Everett beserta keluarganya. Sayangnya, saat itu saya berada di Bellingham dan terlambat menyadari bahwa bus tidak beroperasi di Hari Natal. Yah. Hari Natal adalah libur nasional serta hari libur Bus Service. Beruntung bagi saya karena Monica, seorang wanita paruh baya asal Jerman mengundang saya dan Thya untuk bersantap siang di Hari Christmas. Yess, saya tentu menyanggupi. Pastinya itu gratiss....

Dari Monica saya pun tahu bahwa budaya Christmas dirayakan di Amerika dengan jalan berkumpul bersama keluarga. Ajang Silatturahmi istilahnya. Tidak heran kalau menjelang natal adalah hari tersibuk dalam kalender transportasi Amerika. “Bulenya pada mudik bang”

Setelah menghadiri misa natal di gereja, para keluarga akan makan bersama. Setelah

itu biasanya memutuskan untuk keluar jalan-jalan di taman seraya berbagi cerita bersama keluarga. Untuk membuktikan itu, bersama Thya, Monica plus Fitz, anjing tipe “English Cocker” yang doyan pipis tiap saat, kami berjalan kaki di sebuah tempat bernama “Lake Padden.” Tempat ini sejatinya adalah danau yang kemudian “disulap” menjadi tempat wisata. Ada tempat bermain anak, sarana olahraga, tempat jogging, traking, dan tentunya danau tempat seseorang bisa berenang di musim panas atau sekedar bermain kano. Dan benar saja, banyak keluarga yang ikut berjalan kaki di sekitar tempat. Ada ibu, ayah dan anak yang baru saja bertemu lalu bercerita panjang lebar tentang tahun yang mereka lalui. Jadi terharu...

Oyach, satu lagi. Selain jalan kaki, keluarga pun biasa menghabiskan waktunya dengan menonton tv atau film. Kebetulan hari itu ada pertandingan basket NBA special bertajuk: NBA Christmas Special antara Miami Heat vs Los Angeles Lakers. Petandingan dua raja NBA, Kobe Bryant vs King James. Pihak NBA sengaja mempertemukan tim-tim besar di hari Natal sebagai tontonan menarik bagi para keluarga yang merayakan natal. Apes bagi Lakers, meski bermain di Stapless Center, tetap saja mereka kalah 96 : 80. “I've got my Christmass give” ujar kapten tim Miami Heat, Dwyne Wade. Saya tersenyum mendengarnya. “Lo kate cuman ente, I also get my Chrsitmas give” ujarku seraya memakan coklat German. Yes, Christmas kali ini sayapun bahkan mendapat hadiah Natal seperti cokelat, boneka, hingga Starbuck cards. Asyiiiiikkk…

Well, meski gak menemukan White Christmas. Namun tetap saja Natal di Amerika terasa berkesan bagi saya yang notabene seorang Muslim.

Have yourself a merry little Christmas Y’all. May God bless us. Let’s bring peace to the world.

Kamis, Desember 16, 2010

Mak, I'm goin' to California

Mumpung di Amerika,” begitu kata-teman-teman. Tidak heran jika kemudian “winter break” betul-betul dijadikan sebagai ajang travel atau jalan-jalan mengunjungi berbagai tempat di Amerika. Buat mereka yang memiliki budget besar, tidak tanggung-tanggung bisa mengunjungi tiga kota besar sekaligus. Misalkan, Los Angeles, Chicago hingga New York. Sedikit bocoran, baik Los Angeles,Chicago dan New York adalah tiga kota di tiga state yang berbeda dan untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut harus menyediakan budget besar. Apalagi jika ditempuhnya dengan menggunakan pesawat. Nah, buat yang modalnya pas-pasan seperti saya, satu tempat saja sudah cukup. Kalau saja ada yang beri duit. Mungkin bisa lebih banyak. Bapak pejabat, tolong beri saya duit.

Saya memilih California sebagai tempat berlibur. Los Angeles tepatnya. Alasannya, di sana ada Hollywood. Tempatnya para artis dan tokoh terkenal. Begitu yang saya dengar. Suhu di sana pun agak mendingan. Agak lebih hangatlah dibanding Washington yang kini mulai keseringan di bawah nol derajat celcius pada musim dingin ini. Alasan terpenting lainnya adalah, tiket yang saya dapatkan ke California jauh lebih murah dibanding bepergian ke tempat lain. “Maaf, saya kehabisan budget”

Rencana awal untuk bepergian bersama beberapa teman asal Indonesia gagal berantakan. Ujung-ujungnya yang tersisa hanya ada saya dan Thya. Tiket serta hotel sudah di booking sebelumnya, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak pergi. Apalagi kami berdua memang dari Sulawesi Selatan. Tidak heran kalau kami sama-sama memakai istilah pelaut Bugis-Makassar dahulu. “Toddopuli Temalara'” atau dalam istilah Makassarnya, “Le'ba kusorona biseangku, kucampa'a sombalakku, tamassaile puna teai labuang.” Yang intinya: “Sekali layar terkembang, pantang bagi kami mundur ke daratan”

Dan petualangan pun bermula. Dimulai dari ujung Barat Amerika, Bellingham. Kami mengambil bus menuju Mount Vernont lalu Everett. Kami singgah sebentar di Everett demi mencicipi kari India lalu melanjutkan perjalanan lagi dengan bus menuju Seattle. Dari Seatlle, Kerete Api “Mono Rail” yang tiketnya sekitaran 2,5 dollar membawa kami menembus malam menuju Seattle-Tacoma International Airport. Kami mungkin gila karena flight yang akan kami gunakan berangkat pada jam tujuh pagi. Namun karena budget yang terbatas dan tak mungkin menyewa hotel di dekat bandara, maka satu-satunya jalan adalah bermalam di bandara. Hitung-hitung dapat pengalaman. Mumpung di Amerika.

Beruntung bagi saya, karena SeaTac airport adalah salah satu airport ternyaman yang pernah saya datangi. Belum lagi ditunjang fasilitas yang canggih untuk check in serta koneksi internet yang super duper cepat plus gratis. Saya jadi teringat waktu di bandara Narita-Jepang dulu. Saya harus membayar 100 yen untuk sepuluh menit internet. Kalah tuh Jepang. And guess what...malam itu kami ternyata tidak sendirian tidur di bandara. Ada puluhan orang lainnya yang juga tidur di bandara. Bisa diprediksi kalau kami juga bukan satu-satunya orang yang kekurangan budget :-)

Sayangnya, gak ada Mushallah di sini. Gak seperti di bandara Sukarno Hatta Jakarta atau bandara Hasanuddin Makassar.

Akhirnya malam itu kami menghabiskan waktu dengan bermain scrabble serta online di dunia maya. Tak lupa menonton live semifinal pertandingan sepak bola AFF cup antara Indonesia vs Filiphina melalui Tv online. Gemuruh supoter memuncak saat menit ke 32, Christian “Habibi” Gonzales menyundul bola memanfaatkan umpan Firman Utina. Goooooolllll...!!!! Dan bait terakhir anthem Indonesiapun berkumandang. Hiduplah Indonesia Raya...

Sampailah kita pada tahap scary thing on American Airport. Mereka menyebutnya check point security. Dengan alasan keamanan, maka semua penumpang yang akan masuk keruang tunggu akan diperiksa. Tidak tanggung-tanggung,sepatu pun harus ikut dibuka. Sambil malu-malu saya membuka sepatu saya sambil berharap orang lain tak menyadari aroma aneh yang tiba-tiba menyebar. Bukan hanya sepatu, buat wanita yang melewati metal detector dan benda hebat itu tetap berbunyi, mereka harus melepas baju sehingga yang tersisa hanya baju dalam mereka. Hasilnya, dari pemeriksaan tersebut saya harus merelakan air minum serta gel seharga 140.000 rupiah itu di buang oleh petugas karena dianggap tidak layak masuk ke areal bandara.

Dan setelah menunggu beberapa jam plus tiga puluh menit penundaan pesawat. Kami ahirnya menuju maskapai penerbangan yang akan kami gunakan. “Virgin America Airlaines”. Nama yang aneh menurut saya. Satu saat nanti kayaknya bakal ada Handsome Airlines atau Widow Airlines juga nih. Namun jangan salah. Meskipun nama penerbangannya aneh. Kapalnya terkesan mewah dengan lampu ungu yang menghiasinya. Romantis abis. Belum lagi pesawatnya yang dilengkapi tv di setiap kursinya. Itu termasuk kelas ekonomi. Padahal ini cuman penerbangan domestik. Setahu saya, di Indonesia hanya Garuda yang seperti ini. Itupun tidak semua pesawatnya.

Sayapun memasang sabuk pengaman, Menyandarkan kepala pada bantalan kursi. Menyambungkan headset pada layar tv. Memutar musik lalu bersiap mengambil posisi terbaik saya. Tentunya untuk tidur.

Rata Penuh

Ingin rasanya saya berteriak. Maaaak, I'm goin' to California.

Pages