Jumat, Agustus 20, 2010

Ramadhan di Negeri Obama

Ramadhan di negeri yang di dominasi oleh Masyarakat Non Muslim selalu memberi pengalaman tersendiri bagi setiap Muslim yang merasakannya. Menjadi minoritas terkadang memberi tantangan tersendiri dalam menjalankan apa yang kita yakini.

Amerika misalnya. Di negerinya President Obama ini, Islam adalah agama minoritas. Tak ada yang tau pasti berapa jumlah pasti penduduk Muslim di negeri ini, Namun, banyak yang memperkirakan kalau jumlah Muslim di sini telah mencapai 6-7 juta orang. Hal ini dipertegas dengan pidato Obama sewaktu mengunjungi Mesir tahun 2009 lalu. Obama mengatakan bahwa jumlah Muslim di Amerika sekitar 7 juta orang. Lumayan memang, namun coba bandingkan dengan jumlah penduduk Amerika yang seluruhnya mencapai 310 juta orang lebih.

Ramadhan di negeri yang penduduknya minoritas adalah pengalaman pertama bagi saya. Dan tentunya sangat berbeda dengan apa yang selalu saya rasakan di tanah air.

Awal Ramadhan disini saya tinggal bersama beberapa mahasiswa internasional asal Kenya, dan India di sebuah apartemen. Total kami berlima dan semua teman saya adalah non Muslim. Ada yang Kristen, Hindu, Sikh ataupun Atheis. Akibatnya, saya harus menikmati sahur dan berbuka puasa sendiri.

Tak ada suara orang berteriak “sahuuuurrrr” di waktu subuh, dan tak ada suara azan di waktu berbuka. Menunya pun ala kadarnya. Tentunya bukan cendol, es buah, pallu butung, sirup atau kolak. Yang ada hanya coca cola atau sebangsa coke lainnya.

Meski di kampus saya memiliki beberapa teman yang Muslim seperti dari Pakistan,Somalia ataupun Mesir. Namun tidak berarti semuanya berpuasa. Beberapa diantaranya justru tidak shalat dan tidak puasa. Saya jadi berfikir bahwa istilah “Islam KTP” itu tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di Amerika.

Jika tahun kemarin,saat masih di UIN Alauddin Makasssar, tiap buka puasa, saya dan kawan seringkali mengunjungi mesjid-mesjid di sekitar Mannuruki demi mendapatkan menu takjil gratis. Maklumlah mahasiswa. Bawaannya makan gratis. Maka disini hal itu tak bisa saya lakukan. Jarak mesjid dengan apartemen terlalu jauh. Butuh dua kali naik bus. Akibatnya, shalat Tarawih pun tak pernah saya lakukan di Mesjid.

Lama waktu menahan disini pun agak panjang jika dibandingkan di Indonesia. Tahun ini, puasa di Amerika bersamaan dengan Summer time. Yang artinya, siang disini agak panjang dibanding malam. Sehingga, jika di Indonesia kita biasanya buka puasa pada pukul 18:00, maka di USA, buka puasanya baru pada pukul 20:15. Sekitar 14 hingga 15 jam menahan.

Dan jika umumnya di Indonesia waktu kuliah dikurangi saat bulan ramadhan. Di sini semua tetap berjalan seperti biasa. Kafetaria pun tetap buka sebagaimana biasanya. Dan para mahasiswa pun akan dengan santainya makan di depan kita. Tidak jarang mereka menyodorkan makanannya kepada saya. Tentunya menolak makanan tersebut tanpa alasan yang jelas bisa jadi menyinggung perasaan mereka.

So, kami yang muslim harus menjelaskan kepada mereka apa itu puasa. Dan ternyata, masih sangat banyak diantara mereka yang tidak tahu apa itu puasa. Banyak diantara mereka yang sampai geleng-geleng kepala karena merasa tak mampu makan dan minum selama 15 jam.

Berat memang rasanya melaksanakan puasa di negeri orang. Namun seperti kata Lori Loughlin, “You have to make difficult choices in your life, and you just have to be happy with them – Terkadang, kita mendapatkan pilihan yang sulit dalam menjalani hidup, dan yang perlu kita lakukan adalah mencoba menikmatinya”


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Semoga sukses mas..salam kenal

Anonim mengatakan...

salut deh dengan Anda, bisa melaluinya. Oiya, dari UIN Alauddin, berarti jarak rumahku dengan kampus UIN Alauddin tidak jauh, tepatnya di belakang Toko buku Toha Putra, oke..salam kenal ya...

salam damai dan bahagia selalu ...:)

Pages